covet cookies

no refund-dilarang numpang duduk saja!!!

Minggu, April 19, 2009

BAB I

Diposting oleh covet cookies |

BAB I


Si Pecinta Kucing Bag. I



Aku baru saja mematikan kompor ketika suara-suara mulai berdatangan ke meja makan. Ketika kuangkat pengorengan dari kompor, aku melihat Ayah, Kak Bin dan Kak Bon menarik kursi masing-masing. Buru-buru ku pindahkan nasi goreng ke bakul nasi berbentuk mangkok keramik dan kuletakkan di meja. Tiga tangan menggapai pinggiran mangkok bersamaan.


“Kepala keluarga duluan,” kata Ayah.


“Lha? Kan aku yang dapet duluan, Yah,” kata Kak Bon.


“Gimana sih? Yang beli beras kemarin kan aku!” Kak Bin berkeras.


Pagi yang biasa, di hari yang biasa. Setiap pagi aku bangun, sholat, mandi, cuci, kakus. Ya nggak lah. Setelah mandi dan berpakaian seragam, aku akan turun ke dapur dan mulai memasak. Aku punya bukan hanya satu, bukan dua, tapi tiga kakak laki-laki. Di rumah ini akulah satu-satunya perempuan, karena Bunda sudah m pergi ke haribaan Tuhan sejak aku berumur empat tahun, meninggalkan warisan empat orang laki-laki yang memeliharaku, dan kupelihara. Aku sudah dididik menjadi ibu rumah tangga sejak kecil, bahkan jadi pengusaha katering yang sukses.


Ngomong-ngomong soal empat laki-laki yang selalu kelaparan ini, kemana kakakku nomor dua, Kak Ben?


“Kak Ben mana, Yah?” tanyaku sambil duduk dan meraih piring makanku.


“Pergi,” jawab Ayah singkat dengan nada datar.


Aku terdiam. Kak Ben adalah anak Ayah yang paling carefree sama keluarga kami. Aktifitasnya di rumah hanya datang, makan, tidur, dan pergi, itupun tidak setiap hari. Tidak pernah ada note, SMS, apalagi menelepon, boro-boro memberitahu langsung. Kak Ben selalu sibuk menghabiskan waktu bersama teman-teman klub fotografi dan pecinta alamnya. Kami sudah lama menyerah dan bertingkah tak tahu apa-apa kalau dia bertingkah semaunya sendiri, bahkan kurasakan semakin lama, Ayah semakin diam terhadapnya.


“Aku minta timun dong,” kata Kak Bon.


Aku pergi ke tempat kulkas dan mengambil sebuah timun. Kukupas, kucuci, lalu kupotong-potong. Kak Bon tidak bisa makan kalau tidak ada sayuran, dia vegetables addict. Mungkin karena itulah dibandingkan kami semua, dia yang punya kulit paling halus dan bersih, bahkan dibandingkan aku yang cewek. Dia adalah kakak laki-lakiku yang ketiga, dan usianya hampir dua tahun di atasku. Berkat ke-fashionista-annya, bakat sebagai player-nya muncul secara alami sejak dini. Seingatku ketika kelas nol besar TK, pacarnya sudah tiga, dan satu cewek diklaim sebagai istrinya.


Baru saja aku menghabiskan setengah porsi nasi goreng, Kak Bin sudah berdiri dari kursinya.


“Kok buru-buru banget sih, Kak?” tanyaku sambil mengawasi dia minum air putih.


“Pagi ini harus cari bahan skripsi ke perpustakaan,” katanya.


“Kenapa harus pagi banget?” tanyaku.


“Makin cepat makin baik kan. Ohya, kalau mau nitipin belanjaan sekalian aja. Katanya mau belanja bulanan kan?” kata Kak Bin.


Tumben dia baik hati.


“Beneran?”


“Nggak usah basa-basi deh. Cepetan, mana daftarnya?”


“Ada di pintu kulkas. Duitnya sama Ayah,” kataku sambil tersenyum manis.


Kak Bin adalah putra sulung Ayah. Sejak Bunda meninggal, tanggung jawabnya hampir menyerupai Abang Rumah Tangga. Untungnya dia bukan tipe cowok yang mengutamakan teman seperti Kak Ben, atau yang isi otaknya hanya makanan dan cewek seperti Kak Bon. Ini tahun terakhirnya di perkuliahan, dan dia bertekad cepat menyelesaikannya dan cepat mendapatkan pekerjaan agar bisa membantu keuangan keluarga. Ayah memang pensiunan sebuah perusahaan asuransi dan sekarang membuka Petshop milik keluarga. Tapi bagaimanapun juga, kakak-kakakku masih kuliah dan aku sendiri sebentar lagi juga akan menyusul mereka. Jadi Kak Bin—yang bermotto makin cepat makin baik—merasa bertanggung jawab membantu perekonomian keluarga kecil kami.


“Boni, kamu bantu-bantu Ayah di toko ya?” kata Ayah tiba-tiba.


“Wah, Ayah. Nggak bisa. Aku udah ada janji…” kilahnya.


“Sama cewek,” sambungku.


Dia tertawa.


“Boni Fans Club nomor 47. Hehe… maaf ya, Yah. Via aja nih,” kata Kak Bon tiba-tiba menudingku.


“Apaan? Nggak ah. Toko Ayah bau!” kataku menghindar.

Ayah menghela napas.


“Oh, ya sudah. Padahal hari ini ada produser yang lagi bikin film layar lebar bakalan butuh jasa Ayah, sewa semua jenis anjing di toko Ayah. Mana Naven lagi cuti lagi…” ujar Ayah.


Aku diam saja, begitu juga Kak Bon.


“…Padahal rencananya Ayah pingin diskusiin royalty-nya sama kalian. Tapi kalau memang nggak bisa…”


“Jam berapa Ayah janjian sama produsernya?” kataku cepat.

Kak Bon yang baru buka mulut langsung merengut. Dia kalah cepat dibanding aku. Ayah tersenyum-senyum.


“Jam delapan kita berangkat, oke?” kata Ayah.


“Siap!”


Aku mencium bau uang saku tambahan di udara.



******



“Yah, yang ini juga?” tanyaku melihat kandang berukuran superbesar berisi Bulldog yang menurutku pernah digelembungkan sewaktu bayi sehingga ukurannya tak wajar.


Ayah yang sedang membujuk beberapa anjing-mirip-Dalmatians untuk keluar dar kandang, mendongak. Dia terkekeh.


“Buffy biar tugas Ayah nanti. kamu tolong bereskan yang disini saja,”kata Ayah.
Kami pun bertukar posisi. Anjing-anjing berwarna putih bertotol hitam ini menyalak lucu ketika aku menghampiri.


“Iya, iya. Kalian harus keluar dulu ya. Kandangnya harus dibersihin. Biar wangi!” bujukku sambil membelai-belai kepala mereka.


Aku yang sudah setuju membantu Ayah di petshop sejak pukul setengah sembilan sudah mondar-mandir di toko Ayah mengerjakan keperluan anjing-anjing elit ini. Mulai dari memindahkan beberapa kandang untuk dikelompokkan, membersihkan kandang dan wadah pasir para binatang, memandikan anjing-anjing macam Siberian Wolf dan mengeringkan bulunya, sampai memberika susu untuk anak-anak anjing, kukerjakan hanya berdua bersama Ayah! Semua ini karena Mas Naven pergi. Dia adalah satu-satunya pegawai Ayah, dan biasanya bekerja sepanjang pagi sampai sore karena dia kuliah malam. Tapi hari ini cowok berkacamata itu tidak datang. Padahal hari ini adalah hari tersibuk—dan bisa dibilang terpenting—bagi Ayah sepanjang akhir tahun ini.


Selesai mengurusi anjing-anjing lucu itu, aku duduk merosot di kursi kulit Ayah di dalam kantornya. Sekujur badanku bau campuran antara pipis anjing dan pup kucing. Aku yakin bulu-bulu binatang itu banyak menempel di bajuku dan aku nantinya harus mengaku kepada Ayah bahwa dua helai bulu burung nurinya yang berwarna hijau tak sengaja tercabut olehku tadi. Kulirik jam dinding, sudah pukul sebelas! Sialan, aku diperbudak oleh binatang-binatang yang bisanya menggonggong, mengeong, berkaok, dan pup. Segala dilayani. Aku heran kenapa Ayah tahan melakukan ini semua setiap hari., bahkan hari libur.


“Kavia!” Ayah memanggil namaku dari bagian depan toko. “Ayah bawa jus!”


Aku menyahut dengan gembira. Kuambil jus tomat dari tangan Ayah dan duduk di meja konter yang dialiknya terpajang peralatan perawatan binatang peliharaan.


“Orang film itu datang jam berapa sih, Yah?” tanyaku sambil menyeruput jusku.
Ayah mengecek jam tangannya.


“Seharusnya sebentar lagi mereka datang…”


Baru saja suku kata terakhir diucapkan, suara mobil ytang menderu berhenti di depan toko kami. Tak lama kemudian—kling-kling—pintu toko terbuka dan seseorang berkaus polo dan berkacamata hitam masuk. Sebelum pintu toko tertutup, aku bisa melihat Jeep hitam yang besar terparkir di depan pintu toko Ayah.


“Panjang umur, sehat sentosa. Orang-orang film memang selalu on time,” kata Ayah.


“Itu produsernya, Yah?” tanyaku.


“Bukan. Itu asisten property-nya,” jawab Ayah.


Dia menyambut tamu kehormatan itu dengan senyum yang ramah.


“Apa kabar, Pak Nando?” sapa Ayah sambil menjabat tangan laki-laki itu.


“Baik. Saya datang ke sini untuk urusan perjanjian kemarin, Pak…”


“Wisnu. Ya, saya sudah merawat anjing-anjing ini sepagian. Anda tinggal membawa mereka saja, Pak Nando,” senyum Ayah.


Cih, orang yang sok penting! Bisnis sama Ayah, tapi lupa namanya. Aku memperhatikan laki-laki itu membuka kacamata hitamnya. Tidak speerti Ayah, wajahnya tidak terlihat antusias.


“Yah… begini Pak Wis…nu, ya?” Ayah mengangguk semangat. “Soal perjanjian itu… terpaksa harus dibatalkan, yah…”


Senyum menghilang dari wajah Ayah, berganti dengan ekspresi kebingungan.


“Lho? Ada masalah apa ya, Pak?” tanyanya.


“Yah, ini soal Pak Produser. Beliau ingin mengganti adegan terakhir filmnya, yah. Jadi kami tidak memerlukan lagi anjing-anjing ini, yah…”


“Kok gitu sih?” potongku dengan suara keras.


Pak Nando dan Ayah menoleh ke arahku. Aku melompat turun dari meja konter dan mendekati mereka berdua. Emosiku naik sampai ke ujung rambut.


“Yah, ini bukan masalah yang bisa kau mengerti, Nak,” kata Pak Nando.


“Tolong jangan meremehkan saya. Apapun masalah yang Bapak kira tidak bisa saya mengerti itu, setidaknya saya paham betul cara untuk menghargai orang,” kataku dingin.


Wajah Pak Nando memerah.


Kling-kling. Seseorang masuk. Mungkin ajudan orang di depanku ini yang sepertinya siap menamparku kapan saja, tapi aku tidak mengalihkan pandanganku dari wajahnya.


“Bapak tahu nggak apa yang saya dan Ayah lakukan sepanjang pagi ini? Menyiapkan anjing-anjing yang akan kalian sewa. Sepanjang pagi! Kalau memang mau membatalkan, apa susahnya sih konfirmasi dari kemarin-kemarin? Jangan bikin capek orang lain aja. Memangnya bersihin pup anjing cuma ditiup aja?” kataku tanpa belas kasihan.


“Kau tak mengerti apa yang kau bicarakan, bocah!”


“Oh, gitu ya?...”


“Sudah, Via,” kata Ayah. Dia kembali memandang Pak Nando. “Kalau begitu keinginan Pak Produser, ya sudah. Silakan sampaikan pe atasan Anda, perjanjian sudah dibatalkan.”


Wajah Pak Nando mencerminkan kepuasan saat dia memandangku. Di mataku, yang terlihat hanyalah ekspresi ketololan.


“Tapi demi kebaikan kalian semua, sebaiknya Anda mempertimbangkan ucapan anak saya yang berumur tujuh belas tahun dan tak mengerti apapa-apa ini,” sambung Ayah dengan tenang.


Hening sejenak. Sesaat kupikir dia akan meludah di depan Ayah, tapi ternyata dia hanya mengernyitkan mulutnya dan memandang dengan cara paling meremehkan yang pernah kuterima. Dan dia pergi meninggalkan petshop kami.


Keheningan berlanjut…


Aku tidak tahu berapa menit yang kubutuhkan agar siap memandang Ayah dan meminta maaf kepadanya.


PLUK! Sebuah tepukan pelan mendarat dia bahuku. Aku mendongak. Ayah sedang tersenyum hangat kepadaku. Tapi aku tersenyum sedih.


“Maaf, Yah,” kataku pelan. “Aku bikin kacau.”


“Sama sekali tidak. Kamu nggak bikin kacau. Kamu anak Ayah. Dan benar-benar gadis tunggal Bundamu…” kata Ayah.


Perasaanku menghangat saat Ayah menyangkut-pautkan Bunda dengan kelancangan yang kubuat tadi. Laki-laki hampir setengah abad di depanku ini meraihku dan aku memeluknya erat.


“Aku sayang Ayah…”


Dan dia meledak tertawa.


“Kira-kira sudah sepuluh tahun Ayah nggak dengan kamu bilang seperti itu,” katanya sambil menyusut air mata saking serunya dia tertawa.


Aku memukul punggung Ayah pelan. Tiba-tiba terdengar bunyi berkelontangan. Aku dan Ayah melepas pelukan kami dan menoleh.
Seorang laki-laki dalam balutan jas hitam sangat bagus dan celana pantofel serta sepatu yang tak bisa kutaksir mahalnya, mengembalikan kaleng makanan kucing ke dalam raknya dan memandang kami dengan canggung.


“Maaf ya, aku mengganggu family moment kalian,” katanya.


Ayah tersenyum lebar.


“Lama tak jumpa, Pak Handi,” kata Ayah. Dia berjalan mendekati laki-laki itu dan mereka berjabat tangan.


Aku meperhatikan dari jauh laki-laki necis itu. Usianya mungkin akhir tiga puluhan, penampilannya sangat rapi dan terpelajar, wajahnya bersih dan bercukur. Aku terutama menyukai ekspresi tawanya, ketika dia tertawa, sudut-sudut matanya berkerut ramah dan otot-otot pipinya yang tertarik menciptakan garis-garis tawa yang menarik di wajahnya. Dia dan Ayah mengobrol akrab sesaat, sebelum Ayah memanggilku untuk mendekat.


“Han, ini gadis bungsuku, Kavia…” kata Ayah. Aku menyalami laki-laki itu,”...Via, ini Pak Handi, salah satu pelanggan paling setiasetia kita.”


Laki-laki itu tersenyum kepadaku.


“Padahal kupikir hidupmu sangat kesepian, Nu, tapi ternyata punya putri secantik dan seberani ini,” katanya.


Mukaku memerah. Pasti dia mendengar percekcokan tadi. Tiba-tiba telepon berdering di kantor. Ayah permisi sebentar dan meninggalkan aku bersama pelanggan setianya ini. Tanpa berkata apa-apa, laki-laki necis itu berbalik dan berjalan perlahan sambil mengamati kandang-kandang berisi berbagai macam kucing. Dalam keheningan yang menyusul, aku bisa mendengar kasak-kusuk Ayah di dalam kantor. Pasti dia menjatuhkan buku catatannya lagi entah dimana. Baru saja aku akan beranjak untuk membantu Ayah, laki-laki itu memanggilku.


“Hei…”


Aku menoleh memandangnya. Ternyata dia sedang berdiri diam menatapku juga.


“A… ada yang bisa saya bantu… em, Om Handi?” kataku geragapan. Kenapa kupanggil dia Om ya?


“Tolong kesini,” katanya sambil memberikan isyarat kepadaku untuk mendekat.
Aku berjalan mendekatinya.


“Bantu aku memilih seekor kucing yang bisa menyenangkan hati wanita,” katanya.
Eh?


“O…oh, istrinya ya, Om…”


Ups! Sialan. Aku menekap mulutku. Mesti nggak sih mulutku ngomong hal nggak penting kayak gitu?


“Maaf, maksud saya…” kataku tergagap.


Om Han melihatku dengan pandangan yang tak bisa kutebak, lalu sedetik kemudian tersenyum kecil.


“Ya, istriku suka sekali kucing. Sampai terkadang membuatku cemburu,” katanya.
Aku bernapas lagi. Legaa…


“Oh, gampang, Om! Tergantung bagaimana selera Tante Han, eh, maaf ya, Om…” kataku lagi-lagi.


Dia tertawa kecil.


“Nggak apa. Teruskan.”


Aku menghela napas menenangkan diri. Oke, kali ini no more accident. Rem mulut, rem!


“Kalau sifat… beliau… lembut, saya sarankan pilih kucing bertubuh kecil yang berbulu panjang dan lembut, Om Han. Begitu…” kataku. Entah apa yang membuatku berpikir begitu, aku kan asal bicara saja.


“Bertubuh kecil dan berbulu lembut… hm…” gumamnya.


Aku membiarkannya melihat-lihat koleksi kucing Ayah dalam diam. Sesekali dia mengulurkan tangan menyentuh kucing-kucing itu. Sampai sesaat kemudian, dia menunjuk seekor kucing bertubuh gemuk dan mirip Garfield, hanya saja warna bulunya abu-abu.


“Menurutmu kucing ini diberi nama siapa?” tanyanya.


Aku melongo.


“A… ah, em… nggak tahu juga ya, Om. Nanti saya tanyakan Ayah siapa namanya…”


“Bukan. Maksudku, kamu yang beri nama,” katanya.


“Sa… saya?” Apa sih maksudnya Om Han ini? awas saja kalau dia tidak jadi beli.
Dia memandangku dengan pandangan yang semakin lama semakin membuatku merasa bodoh.


“Ah, saya tahu! Bagaimana kalau Duddy?” kataku. Bahkan ketika mengatakannyapun aku merasa nama itu begitu konyol.


Dia terlihat mempertimbangkan.


“Nama yang cocok. Tidak indah, tapi cocok! Bagus, kalau begitu, aku ambil si Duddy ini,” katanya.


Aku tercengang untuk beberapa detik. Semudah itu kah?


“Eh, o… oke. Sebentar ya, Om. Ayaaaah! Ayaah!” panggilku ke ruang kantor.


Sepuluh menit kemudian, Om Han sudah menjinjing kandang Duddy keluar toko. Ayah dan aku mengantarnya sampai ke depan pintu.


“Datang lagi ya, Han!” kata Ayah.


Om Han tersenyum dan melambai ke arah Ayah. Kemudian dia masuk ke dalam sebuah sedan hitam, bukan ke dalam kemudi, tapi ke jok belakang mobilnya. Wah, ternyata dia bos. Kaca jendela mobil yang hitam diturunkan.


“Sampai jumpa lagi, Wisnu… Kavia,” katanya sambil mengangguk.


Saat kacanya hampir tertutup, aku melihat dia tersenyum… ke arah Ayah. Ya tentu saja dong, masa kepadaku! Mungkin cuma kepalanya saja yang mengarah kepadaku, tapi matanya pasti melihat Ayah kan? Lagipula, aku cukup curiga Om Han ini menertawakanku dari tadi. Berarti dia tersenyum kepadaku dong?


Ah, tidak. Pasti kepada Ayah.



********



Setelah Om Han pergi, toko Ayah kembali sepi. Pukul tiga sore Ayah memintaku mengantarkan seekor Doberman Pinscher bertubuh besar dan berbulu cokelat lebat ke alamat salah seorang pelanggan. Aku mengendarai mobil Ayah sambil mencari-cari alamat si pelanggan, which is the biggest mistake yang dibuat Ayah. Aku alpa banget soal jalan. Jalan-jalan yang kuingat hanya rute pulang-pergi ke sekolah, dan ke toko Ayah. Itu saja. Berdasarkan notes kecil yang Ayah berikan, seharusnya aku tiba sebelum pukul empat, tapi akhirnya, aku baru memencet bel rumah pelanggan itu pada pukul lima seperempat. Untung pelanggan kali ini seorang tante-tante baik hati yang bertubuh besar dan berwajah ramah. Dia malah kasihan padaku dan bilang bahwa rumahnya memang sulit dicari. Aku tahu itu hanya untuk menghiburku, tapi bagaimanapun juga, pukul setengah tujuh aku tiba kembali di toko setelah beberapa kali lagi tersesat, dan puncaknya adalah sekarang ini, pukul sepuluh malam, saat kami—aku dan Ayah—sudah selesai beres-beres dan baru saja akan pulang.


“Kamu yakin meletakkan kunci mobil di tempat seharusnya?” tanya Ayah.


“Ehm…”


Aku menggaruk-garuk kepala, mencoba mengais sedikit saja ingatan kembali ke sore tadi, ketika aku pulang ke petshop. Sepertinya aku meletakkan kuncinya di kaitan di samping lemari arsip ini deh… atau di meja konter ya?


“Yah, aku… Aku… lupa. Tapi tadi kayaknya di kaitan biasanya deh!” kataku kebingungan.


Alhasil, pukul sebelas lewat empat puluh menit, kami baru sampai di rumah. Ketika memasuki ruang tengah, kulihat Kak Bon bermesra-ria dengan entah siapa lewat telepon. Dia tidak melihat kami lewat di belakang sofa tempatnya duduk, matanya terpaku ke TV dan kakinya enak menyelonjor ke meja kopi. Ketika aku baru saja akan naik ke kamar, Kak Bin berpapasan denganku sambil membawa secangkir cappuccino dan seplastik besar apel. Pasti dia mau begadang lagi malam ini.


“Uh, kamu bau pipis kucing,” ucapnya sebagai sapaan selamat datang dan selamat malam.


Naik ke lantai dua, aku melihat pintu kamar Kak Ben agak terbuka dan lampunya menyala. Apa Kak Ben sudah pulang ya? Tidak ada yang bilang. Tapi biasanya memang tidak ada yang tahu sih. Aku penasaran, seberani apakah nyaliku untuk melongokkan kepala dan melihat keadaannya? Yah, siapa tahu dia membutuhkan bantuanku, entah membawa cucian ke bawah, atau apalah, jadi kuputuskan sendiri untuk menyapa dan melihat keadaannya. Kubuka pintu kamar bercat abu-abu itu lebar-lebar.
Tidak ada tanda-tanda yang mensinyalkan ada orang yang hidup dan punya kehidupan di dalam sini. Kamarnya mash seberantakan terakhir kali aku melongokkan kepalaku ke dalamnya, dan pintu lemari juga sedikit terkuak. Ternyata dia hanya kembali untuk membawa tambahan baju atau mengambil pisau atau kompas atau apapun yang ketinggalan.
Sambil menghela napas, sedikit kecewa, aku mematikan lampu kamarnya dan menutup pintu. Aku jadi sedikit mengkhawatirkan kakak keduaku itu. Aku pun masuk ke kamarku sendiri dan mencari-cari bath gel untuk kutuang ke bath tub.

0 komentar:

Subscribe